Perlawanan terhadap Sumbu Filosofis Sejak Masa Kolonial, Penutupan Plengkung Gading Dinilai Menghambat Konsep Tata Ruang. Gambar : nad

Perlawanan terhadap Sumbu Filosofis Sejak Masa Kolonial, Penutupan Plengkung Gading Dinilai Menghambat Konsep Tata Ruang


Perlawanan terhadap Sumbu Filosofis Sejak Masa Kolonial, Penutupan Plengkung Gading Dinilai Menghambat Konsep Tata Ruang. Gambar : nad
18 September 2025 09:05
18/09/2025
90
nad

Perlawanan terhadap Sumbu Filosofis Sejak Masa Kolonial, Penutupan Plengkung Gading Dinilai Menghambat Konsep Tata Ruang

dijogja.co -

Bantul, 18 September 2025 – Sumbu Filosofis Yogyakarta yang telah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia bukan hanya sekadar tata ruang kota, melainkan juga mengandung nilai-nilai filosofis budaya Jawa yang dikenal dengan Catur Gatra. Hal ini disampaikan Budayawan Achmad Charis Zubair dalam Dialog Budaya #2 yang digelar Lembaga Kebudayaan Dumadi di Resto Jamur Jawon, Bantul, Senin (15/9/2025).

Charis menjelaskan, Sumbu Filosofis yang merepresentasikan konsep Sangkan Paraning Dumadi (asal-usul dan tujuan hidup manusia) sejak lama mendapat tantangan, termasuk dari pihak kolonial Belanda. Ia mencontohkan, pembangunan Kantor Pos di kawasan Pangurakan yang seharusnya menjadi ruang kosong, berdirinya Gedung Agung, Benteng Vredeburg, hingga jalur rel kereta api yang melintang di jalur sumbu filosofis. Kawasan Kotabaru dengan arsitektur bergaya Eropa juga dinilainya sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap konsep tata ruang Jawa.

“Semua itu bagian dari upaya kolonial mengganggu makna simbolik Sumbu Filosofis. Sayangnya, generasi muda kita sekarang lebih banyak melihat segala sesuatu dari angka-angka dan kurang memahami nilai filosofis seperti Sangkan Paraning Dumadi,” tegas Charis.

Terkait kondisi saat ini, Charis menyoroti penutupan Plengkung Gading dan pemagaran Alun-alun. Menurutnya, kebijakan tersebut justru menghambat pemaknaan Catur Gatra, karena dalam konsepnya alun-alun adalah ruang publik dan Plengkung Gading merupakan jalur penghubung.
“Kalaupun ditutup demi konservasi, sebaiknya tetap dibuka akses untuk pejalan kaki dan pesepeda agar makna filosofisnya tetap berjalan,” tambahnya.

Dialog yang dipandu oleh Dwijo Suyono, Direktur Eksekutif Dumadi, juga menghadirkan akademisi-sosiolog Dr. Arin Mamlakah MA dan praktisi pariwisata Dr. (Cand) Arya Aryanto SE MM.

Arin menyoroti kurangnya internalisasi nilai Sumbu Filosofis pada generasi muda. “Yang mereka kenal sebatas berfoto di Tugu Pal Putih, Malioboro, atau Alun-alun Kidul. Padahal masih banyak titik penting seperti Kandang Menjangan yang justru belum mereka ketahui,” ujarnya.

Sementara itu, Arya Aryanto menekankan dampak kebijakan penutupan Plengkung Gading bagi sektor pariwisata. “Kami memahami alasan kebijakan itu, tetapi dampaknya membatasi ruang gerak pelaku wisata. Karena itu, pelaku usaha harus terus beradaptasi agar bisa bertahan,” jelas pengusaha bakpia tersebut.

Arya menambahkan, yang terpenting dalam pariwisata bukan sekadar cerita, melainkan pengalaman. Karena itu ia menerapkan konsep open kitchen agar wisatawan tak hanya membeli bakpia, tetapi juga melihat langsung proses pembuatannya. “Wisatawan datang ke Yogyakarta bukan sekadar membeli, tetapi ingin merasakan dan mengalami,” katanya.

Menutup acara, panitia menyampaikan bahwa diskusi budaya akan dilaksanakan rutin setiap bulan. Dialog berikutnya juga masih akan membahas Sumbu Filosofis Yogyakarta.
“Dumadi berkomitmen menyediakan ruang dialog tentang seni dan budaya agar menjadi literasi sekaligus edukasi bagi masyarakat luas,” ujar Dwijo. (nad)

Iklan

HUT RI 80
Jasa Pembuatan Website Jogja tour Travel
Pasang Iklan Gratis

Mau Pasang Iklan? Email: hi@dijogja.co